Wednesday, January 2, 2013

Pesantren, Alam dan Petuah-petuahnya

(Lanjutan "Suka duka Berlibur di Ibu Kota")


Mengkaji ilmu agama itu yang diinginkan ibuku. Sampai-sampai ibuku berkeinginan punya anak yang bisa menjadi guru agama kelak. Sehingga, ibuku ingin aku menggali ilmu di pesantren Al-I’anah dan menitipkan ke kyai Rofi’i Yasin untuk mengaji. Di pesantren itulah aku ketemu dengan dua orang sahabatku Usman dan Ozan.
Kami bertiga berada di tingkat pertama di madrasah Al-I’anah. Kami masuk pesantren itu mulai dari semenjak kita kelas lima SD, sedangkan Ozan yang kala itu masih duduk di kelas empat SD.

Pesantren Al-I’anah adalah sebuah pesantren  salaf kecil di desa kami. Semua santrinya adalah anak-anak desa kami. Ada beberapa santri yang merupakan pendatang hanya 2 orang saja. Pentren itu dipimpin oleh pak kyai Rofi’I yasin. Beliau adalah tokoh agama yang sangat dihormati di desa kami. Karena perjuangan beliaulah agama islam maju pesat di desa kami. Karena perjuangan beliaulah berdiri masjid besar di desa kami yang dulunya adalah sebuah surau kecil hibah dari salah satu penduduk desa kami. Sebelum pak kyai membangun pesantren, pak kyai merupakan guru ngaji di surau kecil itu. Seiring dengan banyaknya santri yang ingin mengaji pada beliau pak kyai dengan bantuan masyarakat sekitar membangun pesantren di dekat rumahnya.

Bilik adalah sebuatan untuk  orang-orang desa pada pesantren. Mereka menyebutnya biliki karena pesantren itu kecil layaknya sebuah bilik yang terbuat dari bangunan semi permanen.  Memang bilik ada dua lantai . Lantai dua dibangun bukan dari beton tapi dari lempeng-lempeng kayu yang disusun sejajar. Dan itu membuat suara berisik bagi santri yang kelasnya terletak di lantai bawah apabila terdengar suara orang berjalan di lantai atas. Bilik letaknya bersebelahan dengan rumah pak kyai. rumah pak kyaipun tidak beda dengan bilik yang hanya bangunan kecil semi permanen. Ada dua ruang kelas di lantai dasar, sedangkan di lantai atas satu kelas dan dua kamar tidur. Bilik kami hanya memiliki tiga buah ruang kelas dan satu kamar untuk para ustad dan satu kamar untuk santri yang menetap di pesantren. Jadi kami sakling bergantian dalam belajar sesuai dengan jenjang kelas masing-masing. Meskipun kondisinya sepertti itu, harus bergantian kelas satu sama lain tidak menyurutkan semangat kita para santri untuk menuntut ilmu. 

Di dalam pesantren kami diajarkan fiqih dan tauhid yang merupakan mata peajaran fondasi yang diterapkan pesantren Al-I’anah. Ini adalah mata pelajaran pertama yang kami terima disamping menulis huruf arab. Belajar fiqih dimulai tentang bagaimana menjalankan sholat yang benar dengan rukun dan syaratnya. Melakukan thoharoh (bagaimana cara bersuci) sebelum menjalankan sholat juga menjadi bagian yang kami dapatkan diawal-awal kami mengaji. Setiap kali kami mengaji kami disuguhkan pada bacaan-bacaan niat wudlu dan bacan-bacaan sholat. Kami disuruh menghafalnya dan disetiap mulai pelajaran kami disuruh maju satu persatu untuk menghafal bacaan-bacaan tersebut. Jika tidak hafal, kamipun disuruh berdiri didepan kelas oleh pak kyai. Dan setelah semuanya maju, santri yang tidak hafal disuruh menghafal di luar hingga dapat menghafal kembali kekelas. Itu yang menjadi kegiatan rutin setiap mulai pelajaran.

Selain fiqih kami juga belajar tauhid. Kami mempelajari apa makna iman, islam dan iksan. Mempelajri sifat-sifat Alloh, rosul, malaikat dengan sebuah nadlom aqidatul awam  (syair tentang akidah bagi orang-orang awam). Sama seperti pelajaran-pelajaran yang lain semua santri wajib menghafalnya. Memang metode menghafal ini menjadi metode utama dalam pembelajaran yang diterapkan oleh pak kyai. Kami semua para santri merasa takut bila tidak dapat menghafal karena pak kyai dengan sangat tegas menyuruh kita berdiri didepan kelas dengan nada yang rendah tapi membuat kami semua takut. Disitulah kewibawaan pak kyai, meski sedikit pak kyai berkata, tapi membuat para santri merinding karena ketakutan.

Suatu hari kami bertiga datang lebih awal di kelas daripada teman-teman yang lain. Usmanlah yang menyuruh kita bertiga lebih awal datang ke kelas. Menyapu ruang kelas, membersihkan papan tulis dan mengatur padung-padung tempat kitab kami lakukan setiap hari sebelum pelajaran dimulai. Padahal sudah ada jadwal piket yang sudah disepakati oleh para santri di kelas kami. Tapi, usman malah menyuruh kita berdua untuk melakukan kegiatan rutin ini meskipun bukan jadwal piketnya. Pikiran apalagi yang ada dibenak si usman ini. Yah memang usman yang misterius ini terkadang membuat kami berdua agak sedikit kesal tapi pada akhirnya membuat kita berdua tersenyum. Akupun mempertanyakan padanya.

Arif:”Us..saya mau tanya nie?”

Usman:”Rep tekoq opo (mau tanya apa)?”

Arif:”Us kenapa kamu menyuruh kita berdua datang lebih awal terus membersihkan ruang kelas, menata padung, mengumpulkan sampah dan membuangnya di tempat sampah. Padahal kan bukan jadwal piket kita. Trus yang piket hari ini apa tugasnya?”

Ozan:”Iya us malahan tar ngajarin males ma temen-temen yang piket hari ini us”

Usman:”Kebersihan sebagian dari iman tho..?”

Arif:”Ya iyoooo….kami tau kalo kebersihan itu sebagian dari iman, tapi nie kan bukan tugas kita piket us?”

Usman:”Trus kalo bukan tugas kita piket… kamu mau menghilangkan sebagian dari imanmu?”

Ozan:”Awakmu iki ngomong opo tho….cuman masalah piket aja sampe-sampe ngilangin sebagian imen…ono-ono wae?”

Usman:”Semua yang ada disekitar kita itu adalah lumbung amal….sipa yang bisa berbuat pada lingkungan sekitar dengan aturan-aturan ataupun ajaran rosululloh maka makin banyak tabungan amal untuk bekal  di kehidupan kita kelak di akhirat. Tidak ada aturan apapun yang melarang kita untuk berbuat apa yang dikatakan rosululloh termasuk jadwal piket iya tho?”

Arif:”Hmmmmmmm…..”

Usman:”Kalin semua tau….jika kelas kita bersih, padung-padung sdah tertata rapih enak kan kita belajar?”
Ozan:”iya us…..”

Usman:”Orang mencari ilmu itu kan lagi melakukan ibadah…. tujuan orang mencari ilmu kalian tau kan?”

Ozan:”Mencari ridlo Alloh yaitu ilmu yang bermanfaat”

Usman:”Nah sekarang bagaimana orang yang memberikan kenyamanan orang yang sedang menuntut ilmu?”
Arif:”Tentunya akanmendapatkan barokah dari setiap santri yang ada dikelas…betul ngga?”

Usman:”Iya benar sekali…menuntut ilmu sebuah kewajiban tapi agar ilmu kita dapat bermanfaat tentunya kita perlu perbuatan lain untuk mendapatkan barokah dari ilmu ataupun orang yang sedang menuntut ilmu”

Semnenjak itu kami bertiga selalu datang ke kelas lebih awal untuk memberishkan dan menata kelas supaya belajar menjadi lebih nyaman. Lagi-lagi sahabatku usman hari ini menyadarkanku tentang arti dari sebuah penerapan ilmu. Mencari ilmu bukan hanya dengan mengkaji kitab dan mendengarkan ceramah dari pak kyai. Akan tetapi, bagaimana mengaplikasikan isedikit demi seikit ilmu yang kita miliki amat sangat berat. Mungkin perkataan usman benar mulailah dari hal-hal yang keci, kita akan terbiasa menjalani penerapan ilmu yang kita miliki karena di lingkungan kita adalah lumbung ibadah.  

Lain dengan usaman sahabatku lain juga dengan pak kyai. Pak kyai disamping mengajarkan kita ilmu agama juga mengajarkan kita tentang bagaimana bercocok tanam. Kata pak kyai “Disamping kita belajar bagaimana mengolah tanah, menanam bibit padi hingga  menjadi beras, kita dapat juga belajar tentang makna khakikat alam. Tanah seperti otak dan hati manusia yang musti dipelihara, diolah dan diberi suplemen pupuk. Jika tanah dipelihara dengan baik aka nada benih-benih tanaman yang bersemi menjadi tanaman-tanaman. Tanaman-tanamanpun akan tumbuh dan berkembang mengeluarkan buahnya dan itu dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Otak manusia amatlah canggih, kecanggihannya bahkan melebihi kompeter. Kecanggihan otak tidak akan dipaki sesuai fungsinya apabila tidak dirawat dengan memberikan perawatan berupa belajar. Semakin kuat kita belajar semakin kuat pula otak kita untuk menaklukan berbagai macam masalah yang kita hadapi. Otak akan lebih ringan menghadapi masalah kehidupan jika diimbangi dengan ketegaran hati. Hati yang tegar dimulai dengan menegakkan sholat kita dipagi, siang bahkan malam hari. Tegarnya sholat kita adalah symbol dari ketegaran hati kita. Hati yang tegar membawa kita pada jiwa yang tentram. Nafsu, amarah, sirik, dengki, ria adalh penyakit hati yang harus dilawan dengan ketegaran hati. Maka dirikanlah sholat setegak-tegaknya hingga hati inipun tegar setegar-tegarnya”. Itu yang saya ingat pesan dari pak kyai sambil kita berjalan kaki menuju sawah tempat menanam padi yang berjarak kurang lebih 6 KM dari pesantrean. 

Setiap sore sehabis mengaji kami para santri di suruh pak kyai untuk merawat tanaman padinya di sawah. Aku, usman dan ozanpun tidak melewatkan hal itu. Apalagi sebagai pembelajaran bahwa di daerah kita memang banyak peani yang sukses, sehingga kita bertiga haruus mempelajarinya secara mendalam. Disawah itulah kami tumpahkan kepercayaan kami atas perkataan pak kyai. Kami ingin seperti tanah yang subur yang apabila ditanami tumbuhan apapun akan tumbuh dan berbuah. Hingga, buahnya terasa manis bagi oang yang memanfaatkannya. Seperti tanah itulah kami menuntut ilmu mengolah fikiran kami, mengilah hati kami hingga semuanya itu siap ditanami apapun dan tumbuh benih ketegaran hati hingga kamipun memetik manisnya ilmu.



oleh: Samsul Maarif 


Temukan tulisan terkait:

"Mengawali Cita-cita dari Kumandang Azan"





No comments:

Post a Comment

Mohon komentarnya....!

Pendidikan

Analisis Data Statistik dengan SPSS


Tinggalkan Pesan dan Kesan Anda di Buku Tamu

Komentar Terbaru