Transformasi
dunia karena revolusi tekhnologi dan komputer menjadi agenda utama dunia saat
ini. Dunia tidak lagi dipandang sebagai benua-benua yang terpisah atau kumpulan
negara-negara yang terpisah, melainkan dunia menjadi saraf global
telekomunikasi dan komputer.
Kepesatan perkembangan tekhnologi telekomunikasi dan komputer telah mengantarkan masyarakat memasuki era global. Suatu negara akan mampu bersaing percaturan global apabila sumber daya manusianya bermutu dan mampu bersaing dari sumberdaya manusia negara lain.
Kepesatan perkembangan tekhnologi telekomunikasi dan komputer telah mengantarkan masyarakat memasuki era global. Suatu negara akan mampu bersaing percaturan global apabila sumber daya manusianya bermutu dan mampu bersaing dari sumberdaya manusia negara lain.
Kemajuan
era globalisasi menjadikan pendidikan yang bermutu sebagai syarat menapaki
kemajuan global. Mutu suatu pendidikan akan menentukan terciptanya sumber daya
manusia yang mampu bersaing di kancah bergolakan kemajuan tekhnologi saat ini.
Bahkan, negara-negara maju memprioritaskan mutu pendidikan bagi warganya
sebagai upaya persaingan era globalisasi.
Berkaca
dari negara-negara maju menerapkan kebijakan pendidikan berorientasi pada
terciptanya mutu sumberdaya manusia. Karena pendidikan itu hal yang utama dari
kemajuan suatu negara, maka kebijakan pemerintah sangat pro pada rakyatnya.
Dimana setiap warganya dapat merasakan pendidikan tanpa terkecuali ataupun
pemerataan pendidikan. Pendidikanpun bukan hal yang mahal karena subsidi
pendidikan sangat diprioritaskan oleh negara-negara maju.
Bagaimana
mutu pendidikan negri ini? apakah pendidikan sudah dirasakan merata bagi
rakyatnya sesuai dengan amanah UUD ’45 bahwa “Setiap warga negara indonesia
berhak atas pendidikan dan pengajaran”. Ironisnya meskipun pemerintah memposkan anggaran 20% dari APBN, tapi tidak
semua orang dapat merasakan pendidikan yang layak. Bahkan, di Ibu Kota Negara
Jakarta yang notabennya dekat dengan pemerintahan pusat, masih banyak anak-anak
bangsa yang belum bisa mengecap pendidikan karena keterbatasan masalah ekonomi.
Mereka memilih untuk tidak bersekolah karena terdesaknya kondisi ekonomi. Meskipun
pemerintah sudah tidak memungut biaya untuk sekolah tingkat SD dan SMP, tapi
faktanya masih banyak anak yang ada di lampu-lampu merah, kolong-kolonh
jembatan layang untuk mengais rupiah dengan mengamen. Mana tanggung jawab pemerintah dengan 20% APBNnya?
Sempat
berbincang dengan salah satu anak jalan di Ibu kota. Kenapa mereka memilih
tidak untuk tidak bersekolah padahal pemerintah menggratiskan biaya sekolah.
Memang sekolah dibebaskan biaya akan tetapi, untuk biaya hidup sehari-hari
mereka menggelenkan kepala alias tidak ada yang menjamin. Itulah alasan kenapa
mereka lebih memilih mengamen daripada bersekolah. Dengan mengamen setidaknya
mereka dapat menyambung hidup di hari itu hingga matahari terbit kembali untuk
kemudian mereka mengais rupiah kembali.
Sebenarnya
banyak program pemeruintah bagi anak-anak kurang mampu. Akan tetapi, program-program
pendidikan untuk anak yang tidak mampu yang dicanangkan pemerintah tidak jarang
tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan mengharumnya aroma KKN dari oknum
pelaku pendidikan. Para oknum itu, menjadikan wilayah pendidikan sebagai lahan
untuk mengali pundi-pundi rupiah. Mereka lupa bahwa hak anah memperoleh
pendidikan itu diatas segala-galanya demi kemajuan generasi muda bangsa. Anehnya,
aroma KKN yang dilakukan oleh oknum ini serasa membudaya di lingkaran sistem
pendidikan di Negri ini.
Bahkan,
komersialisasi pendidikan juga menjadi penyakit terbaru dan endemik di negri
ini. Komersialisasi pendidikan terlihat dari mahalnya biaya pendidikan. Adanya
undang-undang BHMN yang berdalih subsisdi silang bagi anak-anak yang tidak
mampu menambah kekhawatiran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di perguruan
tinggi Negri. Untruk memasuki suatu perguruan tinggi dengan jalur-jalur khusus
masyarakat harus mengeluarkan kocek yang sangat besar. Hal itu sudah menjadi
rahasia umum, uang masuk perguruan tinggi negri tidak seperti yang kita semua
bayangkan. Apa namanya ini kalo bukan komersialisasi dunia pendidikan. Dimana memandang
materi sebagai faktor utama daripada pemerataan pendidikan bagi anak-anak
bangsa.
Lain
siswa yang tidak mampu mengecap pendidikan, gurupun yang seharusnya datang dari
rasa tulus berubah menjadi mengajar karena tergodanya fulus. Banyak calon-calon
guru yang sedang menuntut ilmu di Universitas dengan tujuan supaya menjadi PNS.
Memaang untuk saat ini, kesejahteraan guru lagi disoroti pemerintah. Adanya
kenaikan tingkat kesejahteraan guru deng sertifikasi gurunya banyak orang
berbondong-bondong untuk bersekolah di Fakultas keguruan denga tujuan utama
menjadi PNS. Bahkan, di suatu daerah ada oknum yang menawarkan jasa
melancarakan seseorang menjadi PNS guru dengan imbalan-imbalan yang tidak
sedikit. Alkhasil, demi mendapatkan
jabatan sebagai abdi negara berupa guru PNS ada yang menghalalkan segala cara
demi tercapainya tujuan. Lagi-lagi komersialisasi dunia pendidikan menjangkit.
Terlepas
dari banyak kekurangan di dunia pendidikan kita, banyak prestasi-prestasi anak
bangsa yang mengharumkan negri ini. Akan tetapi, perjalanan masih amat sangat
panjang untuk memeratakan pendidikan kita jika orang-orang yang berkecimpung di
dunia pendidikan tidak bekerja dengan hati yang tulus dengan tidak berpikir
macam-macam kecuali kemajuan dan prestasi pendidikan anak bangasa.
Oleh: Samsul Maarif
Temukan tulisan terkait:
No comments:
Post a Comment
Mohon komentarnya....!