1. Pengertian CTL dan Pengembangannya
Apakah Pengajaran dan Pembelajaran
Kontekstual? Pengajaran dan
Pembelajaran
Kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi
materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata.
Selain itu juga memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan pengetahuan yang diperoleh dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat dan sebagai tenaga kerja nantinya (US Department of Education and the National School-to-Work Office, 2001).
Selain itu juga memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan pengetahuan yang diperoleh dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat dan sebagai tenaga kerja nantinya (US Department of Education and the National School-to-Work Office, 2001).
Saat ini banyak sekolah di Amerika
Serikat yang mengadopsi prinsip-prinsip
CTL. Sebenarnya konsep pembelajaran kontekstual bukan konsep baru. Konsep ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey, yang
mengetengahkan kurikulum dan metodologi pengajaran sangat erat hubungannya
dengan minat dan pengalaman siswa.
Proses
belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman
atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya dan ada
hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya (pengalaman nyata). Selanjutnya
diikuti oleh Katz (1981) dan Howey & Zipher (1989). Ketiga pakar terakhir ini
menyatakan bahwa program
pembelajaran
bukanlah sekedar deretan satuan pelajaran. Agar pembelajaran menjadi
efektif, guru harus menjelaskan dan mempunyai pandangan yang sama
tentang beberapa konsep dasar seperti peran guru, hakikat pengajaran dan
pembelajaran, serta misi sekolah dalam masyarakat. Apabila guru menyepakati
bahwa ketiga konsep tersebut
bermuara
pada Contextual Teaching and Learning, barulah Contextual Teaching and Learning akan
berhasil baik.
Tujuh Komponen CTL
1) KONSTRUKTIVISME (CONSTRUKTIVISM)
Konstruktivisme
(constructivisvism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan
tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
·
Membangun pemahaman mereka
sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal.
·
Pembelelajaran harus dikemas
menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
2) MENEMUKAN (INQUIRY)
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang
kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
·
Proses perpindahan dari
pengamatan menjadi pemahaman
·
Siswa belajar menggunakan
ketrampilan berpikir kritis
Siklus inkuiri :
a. Obsevasi
(Observation)
b. Bertanya
(questioning)
c. Mengajukan dugaan
(Hyphotesis)
d. Pengumpulan
data (Data gathering)
e. Penyimpulan
(Conclussion)
3) BERTANYA
(QUESTIONING)
·
Kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa
·
Bagi siswa yang merupakan
bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
Dalam sebuah
pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
a)
menggali informasi, baik
administrasi maupun akademis
b)
mengecek pemahaman siswa
c)
membangkitkan respon kepada siswa
d)
mengetahui sejauh mana
keinginantahuan siswa
e)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f)
menfokuskan perhatian siswa pada
sesuatu yang dikehendaki guru
g)
untuk membangkitkan lebih banyak
lagi pertanyaan dari siswa
h)
untuk menyegarkan kembali
pengetahuan siswa
4) MASYARAKAT BELAJAR (LEARNING COMMUNITY)
Konsep
learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar meraut
pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya “Bagaimana
caranya? tolong bantu aku!” Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara
mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat
belajar (learning community).
·
Sekelompok orang yang terikat
dalam kegiatan belajar
·
Bekerjasama dengan orang lain
lebih baik daripada belajar sendiri
·
Tukar pengalaman dan berbagai
ide
5) PEMODELAN (MODELLING)
Komponen
CTL selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. model itu
bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru
memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model
tentang “bagaimana cara belajar”
Dalam
pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberikan contoh
temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah
memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa
itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa “contoh” tersebut
dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai
“standar” kompetensi yang harus dicapainya.
·
Proses penampilan suatu contoh
agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
·
Mengerjakan apa yang guru
inginkan agar siswa mengerjakannya
6) REFLEKSI (REFLECTION)
Refleksi
adalah cara berfikir tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru
yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang
baru diterima.
·
Cara berpikir tentang apa yang
telah kita pelajari
·
Mencatat apa yang telah
dipelajari
·
Membuat jurnal, karya seni,
diskusi kelompok
7) PENILAIAN
YANG SEBENARNYA (AUTHENTIC ASSESSMENT)
Assessment
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan
benar.
·
Mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa
·
Penilaian produk
·
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
2.
Pendekatan Belajar Kontekstual
Belajar
kontekstual adalah suatu konsep yang telah terbuktikan yang memasukkan banyak sekali
penelitian terkini dalam sains kognitif. Konsep ini juga merupakan suatu reaksi terhadap teori-teori
yang mendasar bagi para behavioris yang telah mendominasi dunia pendidikan di
Amerika Serikat selama beberapa dekade. Pendekatan kontekstual memandang
belajar sebagai proses yang bersifat kompleks dan multi-segi yang jauh
melampaui metodologi-metodologi stimulus-dan-respon yang berorientasi drill.
Berdasarkan
teori belajar kontekstual,
belajar terjadi hanya bila para siswa
(pelajar) memproses
informasi baru atau pengetahuan
dalam suatu cara sedemikian hingga informasi baru atau pengetahuan
itu bermakna (dipahami) bagi mereka dalam kerangka-kerangka acuan mereka sendiri
(alam-alam "dalam" dari ingatan,
pengalaman, dan respon mereka
sendiri). Pendekatan belajar mengajar ini berasumsi
bahwa pikiran secara alamiah
mencari makna dalam konteks-maksudnya,
sehubungan dengan lingkungan saat ini dari seseorang dan bahwa
pikiran melakukannya dengan mencari
hubungan-hubungan yang bermakna dan ternyata berguna.
Berlandaskan pemahaman itu,
teori belajar kontekstual berfokus pada aspek yang banyak dari sebarang
lingkungan belajar, baik itu
adalah sebuah ruang kelas, Iaboratorium, lab komputer, situs kerja, maupun sebuah ladang
gandum. Teori ini mendorong
para edukator
untuk memilih dan/atau merancang lingkungan-lingkungan belajar yang memasukkan sebanyak mungkin bentuk
pengalaman yang berbeda-sosial, kultural, fisik, dan psikologis dalam bekerja menuju
hasil-hasil belajar yang diinginkan.
A. Apakah Anda Mengajarkan
Matematika secara
Kontekstual?
Selesaikan
uji-diri di bawah ini dan renungkan.
Standar-standar berikut hadir dalam kadar berlainan dalam hampir semua teks. Disisi lain,
pembelajaran kontekstual kaya
akan kesepuluh standar
tersebut
1.
Apakah konsep-konsep baru disajikan dalam situasi-situasi dan pengalaman-pengalaman kehidupan nyata (di luar ruang kelas) yang tidak asing lagi bagi para siswa?
2.
Apakah konsep-konsep dalam
contoh dan latihan siswa disajikan dalam konteks guna dari konsep-konsep itu?
3.
Apakah konsep-konsep baru disajikan dalam konteks apa yang telah diketahui siswa?
4.
Apakah contoh-contoh
dan latihan-latihan siswa meliputi banyak
situasi pemecahan
masalah yang nyata dan terpercaya, yang
dapat dikenali siswa sebagai
penting untuk kehidupan mereka
saat ini atau kehidupan
yang mungkin
di masa depan?
5.
Apakah contoh-contoh dan
latihan-Iatihan siswa menanamkan sikap
yang mengatakan,
"Aku perlu
mempelajari ini"?
6.
Apakah para siswa mengumpulkan dan
menganalisis data mereka sendiri
ketika
mereka dipandu dalam penemuan konsep-konsep penting?
7.
Apakah
kesempatan-kesempatan dihadirkan
kepada para siswa untuk mengumpulkan dan
menganalisis data mereka sendiri untuk pengayaan dan penugasan?
8.
Apakah pertemuan
pelajaran dan aktivitas-aktivitas
mendorong siswa untuk menerapkan
konsep-konsep dan informasi dalam
konteks-konteks yang berguna.
mengarahkan siswa ke masa depan yang dibayangkannya (misalnya, karier-karier yang
mungkin) serta lokasi-lokasi yang masih asing baginya (misalnya, tempat
kerja)?
9.
Apakah para siswa
diharapkan untuk rutin berpartisipasi
dalam grup-grup interaktif di mana
mereka berbagi, berkomunikasi, dan memberikan respon tentang konsep-konsep
penting serta membuat keputusan?
10. Apakah
pertemuan pelajaran, latihan, dan aktifitas laboratorium meningkatkan juga skill membaca dan
skill-skill komunikasi lainnya dalam
diri
siswa selain dari penalaran dan pencapaian
matematis?
Di dalam
lingkungan seperti demikian, para siswa menemukan hubungan-hubungan yang bermakna di antara
idea-idea abstrak dan aplikasi-aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep-konsep diintemalisasi
melalui proses menemukan, memperkuat, dan menghubungkan. Misalnya. sebuah kelas
fisika yang sedang mempelajari konduktifitas panas dapat mengukur
bagaimana kualitas
dan kuantitas
bahan tembok sebuah bangunan
mempengaruhi
energi yang dipenukan untuk
memanaskan atau mendinginkan suhu udara di dalam bangunan itu. Atau
sebuah kelas biologi atau kimia dapat
mempelajari konsep-konsep sains dasar dengan
mengkaji penyebaran AIDS atau bagainana
para petani menyebabkan kerusakan lingkungan dan dirugikan oleh kerusakan lingkungan.
B.
Membenahi
Asumsi-asumsi KeIiru tentang
Belaiar
Belajar
kontekstual menawarkan lebih dari sekedar penataan kembali system pendidikan di Amerika
Serikat; belajar kontekstual
memberikan pendekatan yang lebih
efektif untuk membelajarkan
mayoritas siswa karena pendekatannya secara khusus disesuaikan dengan cara
belajar Para siswa.
Pada beberapa
tahun terakhir, sains
dan studi-studi kognitif yang berkenaan dengan hubungan-hubungan di antara belajar terstruktur dan lingkungan kerjanya
telah memberikan
landasan yang lebih baik kepada kita untuk mengevaluasi keefektifan berbagai metode belajar
mengajar. Namun demikian
banyak edukator cenderung menginterpretasi lingkungan belajar menurut pengalaman
mereka sendiri sebagai siswa. Dalam kata-kata lain, mereka mengajar
dalam cara mereka telah diajar-biasanya dengan metode-metode ceramah abstrak tradisional. Tetapi, meskipun model
ruang kelas tradisional bersifat valid, model semacam itu tidak niscaya menjadi strategi yang
paling efektif untuk membelajarkan mayoritas
siswa. Untuk
meningkatkan keefektifan di ruang
kelas, banyak edukator barangkali perlu
mengubah
beberapa asumsi
dasar tentang bagaimana manusia belajar.
Dr. Sue Berryman dari Institute on Education and
the Economy pada Universtitas
Columbia
telah memisahkan lima miskonsepsi umum
tentang bagaimana manusia belajar:
1. Manusia
mentransfer belajar dari satu
situasi ke satu situasi lainnya
2. Para
pelajar adalah panerima
pasif ilmu wadah kosong untuk diisi pengetahuan.
3. Belajar adalah penguat ikatan diantara stimuli dan
respon-respon yang
benar.
4. Yang
penting adalah mendapatkan jawaban yang benar.
5.
Skill-skill
dan pengetahuan,agar
dapat ditransfer ke situasi-situasi
baru, hendaknya diperoleh secara lepas dari konteks-konteks
gunanya.
Asumsi-asumsi di atas dapat menjauhkan banyak siswa dari pengalaman belajar yang efektif. Pada tiap
kasus, pendekatan belajar kontekstual dapat membantu membenahi asumsi yang keliru dan proses-proses pendidikan yang tidak efisien langkah berkembang dari asumsi-asumsi tersebut.
Asumsi
keliru
# 1. Manusia
mentransfer belajar dari satu situasi ke satu situasi lainnya.
Berryman mempersoalkan.
misalnya, apakah sebagian besar orang benar-benar menggunakan-dalam praktek
sehari-hari--pengetahuan, skill-skill, dalam
strategi-strategi yang
mereka dapatkan selama pendidikan formal mereka. Sebagai contoh, seorang siswa yang berlatih menjadi teknisi
radiologi mungkin mengalami kesulitan
dalam menghubungkan teori-teori yang
dipelajarinya di kelas fisika
dengan skill-skill teknik yang
dipelajarinya
dalam mata pelajaran-mata pelajaran elektronik
Asumsi
Keliru # 2. Para
pelajar adalah penemu pasif ilmu-wadah kosong untuk diisi pengetahuan
Tiap siswa
mendekati tugas belajar berbekalkan suatu matriks skill-skill, pengetahuan, dan
pengalaman yang telah diperolehnya-serta sekumpulan dugaan dan harapan. Belajar paling
efektif terjadi bila siswa diundang (dan diajarkan) untuk membuat koneksi-koneksi di antara belajar di masa
lalu dan tindakan-tindakan di masa depan. Tetapi teknik-teknik pembelajaran
yang menuntutkan respon yang pada
dasamya bersilat pasif dari
para siswa, misalnya metode ceramah, menjauhkan mereka dari kesempatan untuk melibatkan diri mereka
dengan materi. Mereka dapat kehilangan cara-cara belajar terpenting-eksplorasi, penemuan dan
penciptaan. Para pelaiar yang tergantung pada guru dalam
hal panduan dan umpan balik mungkin pula
gagal membangun kepercayaan pada
kemampuan-kemampuan
intuitif mereka sendiri.
Asumsi Keliru
#3.
Belajar memperkuat ikatan
diantara stimuli dan respon-respon yang benar
Miskonsepsi
ini didasarkan pada
pendekatan pendidikan behavioris,
yang cenderung lebih menghargai respon daripada pemahaman. Pendidikan yang berlandaskan pada teori behavioris biasanya mengarah pada penguraian
tugas-tugas dan
idea-idea yang kompleks menjadi komponen-komponen yang terlalu
disederhanakan,sub tugas-sub tugas yang tidak berkaitan,
pelatihan yang
bersifat perulangan, serta
fokus yang tidak tepat pada
"jawaban
benar." Hal demikian tidak membantu siswa belajar memecahkan
soal pada tingkat
yang Iebih sistemik.
Asumsi Keliru # 4,yang penting adalah mendapatkan jawaban yang benar.
Siswa-siswa yang
fokus utamanya untuk mendapatkan
jawaban benar cenderung lebih bersandar pada
jalan pintas hafalan daripada pemerolehan
skill-skill pemecahan masalah
yang akan mereka perlukan dalam latar kehiidupan nyata.
Asumsi keliru
# 5. Skill-skill dan pengetahuan agar dapat ditrasfer
situasi-situasi baru, hendaknya diperoleh secara lepas dari konteks-konteks gunanya.
Proses
mengabstraksi pengetahuan, atau mengambil pengetahuan keluar dari konteks khususnya, telah lama diajarkan untuk
menbuat pengetahuan itu lebih berguna pada banyak situasi filsafat tersebut melandasi
sebagian besar sistem pendidikan saat ini.
Namun demikian, Berryman
berpandangan bahwa dekontekstualisasi seperti demikian dapat dengan mudah merampas motivasi dan maksud dari para
siswa. Mereka barangkali
sukar memahami
mengapa suatu konsep itu penting dan bagaimana kaitannya dengan kenyataan, dan kejadian demikian
menjadikan materi lebih sukar diserap. Misalnya, definisi sebuah istilah dapat sukar
dipelajari dan diserap tanpa adanya
pemahaman tentang konteks
gunanya.
http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Contextual-Learning-and-Teaching-CTL-Pengajaran-dan-Pembelajaran-Konstektual-Kasihani-KE.pdf
CORD; Teaching Mathematics Contextually (The Cornerstone of Tech Prep), CORD
Communications in
the United States of America:
1999
Wahyudin; Pembelajaran dan
Model-Model Pembelajaran,Bandung: 2008
No comments:
Post a Comment
Mohon komentarnya....!